Penulis :
Nawal El-Saadawi
Penerjemah : Masri Maris
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Halaman : 252 hlm, 11 x 17 cm
ISBN : 978-979-461-811-0
Berita itu
muncul dalam surat kabar hari itu, bulan September. Hanya setengah baris,
cetakannya pun kabur, bunyinya:
Seorang perempuan
pergi cuti dan tidak kembali. (Hlm. 1)
_______________________________________________________________________
BLUR
Diceritakan
dalam novel ini seorang perempuan di negeri Timur Tengah yang bekerja tidak
selayaknya perempuan lain. Dia mengerjakan apa yang kaum lelaki kerjakan yaitu
sebagai arkeolog, yang kemudian menghilang tanpa jejak, atau diduga cuti dengan
alasan yang tak jelas. Para pembaca diajak mengalami alur cerita yang dialami
perempuan tersebut secara tak lazim. Beragam pertanyaan menghinggapi benak
kepolisisan yang menyelidiki kasus ini: apakah perempuan ini tipe pemberontak? Apakah
ini sedang mengalami dilema moral? Tak seorang pun memahami bagaimana perempuan
tersebut lenyap begitu saja, meninggalkan suami dan rumahnya.
****************
REVIEW
Seperti
yang tertera di belakang kovernya, di novel ini penulis menyajikan genre satir surealis dengan memvisualkan
hakikat berpikir. Novel ini merupakan novel terjemahan Mesir yang
memiliki judul asli Al-Hubbu Fi Zamani
An-Nafthi. penulis yang terkenal sebagai tokoh feminis di Mesir ini,
menghadirkan keterkaitan antara perempuan dengan sejarah Mesir masa pra-Islam. Pada
masa pra-Islam dulu, perempuan diposisikan sebagai imperior yang harus selalu
tunduk atas perintah lelaki, sementara lelaki yang diposisikan sebagai superior
bebas memerlakukan perempuan sekehendak mereka.
“Aku tak mengerti mengapa kau tidak
membebaskan aku.”
“Membebaskanmu?”
“Ya. Aku manusia seperti kau, aku
punya hak.”
“Apa?”
“Hak-hak perempuan! Apa kau tak
tahu hak-hak perempuan?”
“Kami belum pernah mendengar hal
seperti itu. Kami memiliki hak laki-laki. Hanya itu.” (Hlm.
68)
Novel
ini merupakan cerita paling surealis yang pernah saya baca. Butuh pemahaman dan
ketelitian tingkat tinggi untuk mengartikan setiap adegan pada alur cerita. Yang
menarik, tidak ada satu pun nama tokoh yang disebutkan dalam novel ini. Hanya jenis
kelamin dan profesi para tokoh saja yang disebutkan sebagai pengganti nama-nama
mereka, seperti tokoh perempuan, suami, lelaki, komisaris polisi, atasan si
perempuan, raja, para lelaki, dan para perempuan.
Perempuan itu terus melangkah, sambil
berpegangan pada tali tasnya yang terjulai dari bahunya, seolah-olah ia sedang
digerakkan oelh sesuatu yang tak kuasa ia lawan ke sebuah tuuan yang sudah
pasti. (Hlm. 13)
Suami perempuan itu membisu, kedua
bibirnya terkatup rapat. Matanya terbelalak seperti orang tersentak dari tidur.
(Hlm. 3)
Atasan perempuan itu duduk bersilang
kaki. (Hlm. 5)
Inspektur
polisi
mengangguk tanda mengerti. (Hlm. 5)
Tema
novel ini kental dengan unsur feminisme yang menuntut persamaan hak perempuan
dan lelaki, dimana seorang perempuan yang lazimnya tinggal di rumah mengurus
suami, pada masa itu, namun ia malah bekerja sebagai arkelog dengan segala caci
maki yang diterimanya di tempat kerja oleh para rekan kerjanya. Belum lagi
tindakan sewenang-wenang suaminya yang pada masa itu dianggap hal lumrah, namun
ternyata mengusik batin si perempuan.
Dengan
keinginannya yang kuat untuk meraih kebebasan, akhirnya si perempuan pun
meninggalkan rumah dan berkelana dengan menggunakan profesinya sebagai arkeolog
untuk menemukan dan menggali patung dewa. Karena kepergiannya ini, berbagai
pertanyaan pun menghinggapi benak kepolisian yang menyelidiki kasus ini. Mengganggap
dia adalah seorang pemberontak, atau bahkan dia sedang gila. Bahkan media cetak
pun menggembar-gemborkan masalah ini seolah-olah kepergian perempuan itu
merupakan hal yang paling tak masuk akal dan baru pertama kali dilakukan oleh perempuan
masa itu, bahkan hingga sampai ke telinga raja dan mendapat perhatian
sepenuhnya oleh penguasa tersebut.
Perempuan itu sedang
berteriak-teriak ketika ia siuman. Di mana hak-hak perempuan? Ia sedang
terbaring di tempat tidur. Di sekelilingnya ada perempuan-perempuan penjunjung
tempayan. Di depan mata mereka ada awan. Selapis minyak hitam menutupi bola
mata mereka, dan ada perintah dari Baginda Raja: ‘Setiap perempuan yang tertangkap
dengan kertas dan pena dalam genggamannya akan dihukum’.
(Hlm. 81)
Perempuan
ini digambarkan sebagai sosok yang berani dan bermental kuat, yang ingin keluar
dari keimperiornya selama ini. Ia ingin membuktikan bahwa perempuan pun bisa
mengerjakan profesi laki-laki, dan perempuan pun adalah makhluk yang kuat sama
seperti laki-laki dengan membuktikan bahwa dia bisa menerima siksaan batin dari
rekan kerjanya di arkeologi. Bukan hanya itu, perempuan ini juga membuktikan
bahwa ia memiliki hasrat yang sama seperti laki-laki untuk menjadi pemimpin
misalnya, seperti keinginannya yang kuat pada saat itu untuk menjadi Nabi agar
bisa menyembuhkan orang-orang.
“Apa katamu, Engkau ini bicara apa?”
“Aku akan menjadi nabi… agar aku
dapat menyembuhkan orang.”
“Apa kau sudah gila? Tidak ada nabi
perempuan.” (Hlm. 43)
Mengenyampingkan
ceritanya yang surealis dan agak absurb menurut pemahaman saya yang dangkal,
cerita ini memberikan pesan yang amat besar tentang asal mula perjuangan
perempuan di Mesir pada masa pra-Islam, yang diceritakan penulis dengan gaya
sastranya yang khas melalui tokoh perempuan. Penulis sendiri, yakni Nawal
El-Saadawi memang terkenal melahirkan semua karyanya yang bertema tentang
perjuangan perempuan untuk mendapatkan hak-haknya. Ada banyak karya-karyanya
yang disensor oleh badan Mesir dan dilarang di Saudi Arabia dan Libya karena
terlalu jauhnya penulis sebagai pejuang hak-hak wanita, menulis karya-karyanya
yang dinilai sebagian Negara tak pantas dibaca.
Novel
Love In The Kingdom of Oil ini salah
satu karya fenomenalnya yang menurut saya bukanlah bacaan ringan yang bisa
dinikmati oleh semua kalangan. Novel ini benar-benar memvisualkan hakikat
berpikir kita, sehingga dibutuhkan kehati-hatian, bahkan pengulangan bacaan
agar bisa memahami isi cerita yang ingin disampaikan penulis. Untuk yang ingin
mengetahui bagaimana gerakan Feminis lahir, atau yang tertarik untuk menganalisis Feminisme, novel ini saya rekomendasikan untuk anda.
Wah, aku baru tahu buku ini. Biasanya buku terbitan Obor dari segi isi memang lebih 'berani' dibandingkan penerbit lain :))
ReplyDeleteDulu zaman kuliah ada toko buku yang khusus menjual buku-buku terbitan Obor dan sejenisnya, semenjak pulang kampung gak pernah baca buku-buku sejenis ini, susah nyarinya :')
Betul banget kak. Saya sampai pesan online ke penerbitnya demi buku ini karena buku ini adalah bahan skripsi saya 😁
DeleteThis comment has been removed by the author.
Deletewah jadi pengen beli dan baca nih! Nawal el shadawi selalu luar biasa dalam berkarya. Baru dua buku yang saya baca dari Nawal, dan belum baca yang Love in Kingdom of Oil. Terima kasih reviewnya ya kak :D
ReplyDeleteSama2 😁
DeleteMemang kary Nawal tuh 'sesuatu' bingit dan bikin muter otak saya 😂
saya mencoba meneliti untuk bahan skripsi saya.. MUDAH2HAN KETEMU BUKUNYA
ReplyDelete